keaktifan pembelajaran
dalam setiap kegiatan
pembelajaran merupakan suatu prasyarat yang mutlak; dengan kata
lain, tidak ada proses belajar yang tidak disertai keaktifan pebelajar di
dalamnya. Oleh karena itu, permasalahan pokok dalam Pendekatan CBSA ini adalah
bagaimana meningkatkan derajat keaktifan murid di dalam proses pembelajaran.
Hal inilah yang menjadi fokus utama dari pendekatan CBSA: bagaimana
mengupayakan agar di dalam pembelajaran itu
murid secara aktif terlibat di dalamnya, baik fisik maupun yang utama
mental. Kajian dalam Sub Unit ini akan membahas rasional (aspek kemengapaan)
dan pengertian (aspek apa) dari Pendekatan
CBSA
Karena belajar selalu berarti
pebelajar harus aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar tertentu (natural,
social dan atau kultural), maka penggalakan kembali Pendekatan CBSA harus
dimaknai sebagai upaya mengoptimalkan keaktifan murid di dalam pembelajaran
agar hasil belajar juga menjadi optimal. Hal itu terutama karena adanya
kenyataan obyektif yang dihadapi, serta harapan-harapan di masa depan. Beberapa
kenyataan obyektif dan harapan tersebut (T. Raka Joni, 1985:9-11; Sulo Lipu La
Sulo, dkk, 2002: 10) antara lain:
1. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang semakin dipercepat sehingga bahan
ajar (isi mata pelajaran) akan cepat menjadi usang. Dengan demikian pebelajar
dituntut untuk terus belajar, sehingga dalam pembelajaran: hasil belajar sama
pentingnya dengan penguasan cara belajar yang tepat;
2. Perkembangan
yang cepat dari teknologi irfomasi dan komunikasi atau TIK (information and
communication technology atau ICT) sehingga terbuka peluang yang sangat
besar untuk memperoleh informasi selain yang disampaikan guru di sekolah.
Dengan kata lain, terdapat beragam sumber belajar yang dapat dimanfaatkan oleh
murid kapan dan dimana saja yang diinginkannya.
3. Perubahan
pandangan dan harapan tentang fungsi sekolah yakni dari fungsi seleksi (hanya
yang unggul yang dapat lanjut) menjadi fungsi pengembangan (setiap murid dapat
lanjut terus sesuai kemampuannya). Oleh karena itu, sekolah dituntut untuk
berupaya sedemikian rupa sehingga semua murid dapat berkembang seoptimal
mungkin sesuai kemampuan masing-masing. Di samping itu, sekolah diharapkan
secara serentak menyiapkan peserta didiknya untuk mampu menyesesuaikan diri
dengan masyarakatnya (fungsi sosialisasi) dan untuk mampu membaharui
masyarakatnya itu (agen pembaharuan).
Selanjutnya pembahasan tentang
mengapa Pendekatan CBSA perlu diterapkan dalam pembelajaran, T. Raka Joni
(1993: 60-66) mengemukakan 2 (dua) alasan utama sbb:
1. Alasan
yang bersifat teknis-psikologis yakni hakekat belajar adalah pengubahan
pengetahuan-pemahaman yang berkelanjutan melalui proses pemberian makna (baik
sisi intelektual maupun emosional) oleh pebelajar terhadap pengalamannya
berinteraksi dengan lingkungannya, yang dibedakan atas: .
Kebermaknaan
intelektual pengalaman pebelajar itu dapat berarti:
-
terasimilasikannya
(terbaurkan) isi pengalaman baru ke dalam struktur kognitif yang telah ada
(asimilasi kognitif), atau
-
termodifikasinya
struktur kognitif untuk mengakomodasikan (menempatkan) pengalaman baru itu
(akomodasi kognitif), dan
-
selain proses kognisi
(asimilasi dan akomodasi), proses belajar yang efektif akan berdampak pada
proses meta-kognisi yakni terjadinya kesadaran pebelajar atas proses kognisinya
itu serta terbentuknya kemampuan untuk mengendalikan proses kognisinya itu,
dengan kata lain: pebelajar belajar
bagaimana
belajar (learing how to learn).
2. Kebermaknaan emosional pengalaman pebelajar
berkaitan dengan kepemilikannya (sense of ownership) yakni pebelajar
merasa bahwa isi pengalaman belajar itu penting baginya, baik pada saat
mengalaminya maupun untuk waktu yang akan datang; motivasi intrinsik tersebut
akan menjadi landasan terbentuknya kemampuan belajar mandiri.
B. Pengertian Pendekatan CBSA
Titik fokus kajian dalam Pendekatan
CBSA adalah keaktifan pebelajar dalam proses pembelajaran, namun bukan berarti
bahwa pihak lain yang terlibat dalam proses pembelajaran tersebut, utamanya
guru, tidak perlu aktif. Dengan demikian, Pendekatan CBSA menekankan keaktifan
semua pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran tersebut, dengan pengertian
keaktifan dalam rangka CBSA menunjuk kepada keaktifan mental, meskipun untuk
mencapai maksud ini dalam banyak hal dipersyaratkan keterlibatan langsung dalam
pelbagai bentuk keaktifan fisik” (T.Raka Joni, 1985: 1). Dalam mengkaji derajat
keaktifan dalam pembelajaran,
McKeachie (1954, dari T.Raka Joni, 1985:
2) mengemukakan 7 (tujuh) dimensi yang dapat menjadikan variasi kadar keaktifan
dalam pembelajaran itu , yakni:
1. Partisipasi
murid dalam menetapkan tujuan kegiatan pembelajaran,
2. Penekanan
pada aspek afektif dalam pembelajaran.
3. Partisipasi murid
dalam pelaksanaan kegiatan
pembelajaran, terutama yang berbentuk interaksi antar murid.
4. Penerimaan
guru terhadap perbuatan/kontribusi murid yang kurang relevan, bahkan salah;.
5. Kekohesifan
kelas sebagai kelompok,
6. Kebebasan/kesempatan
yang diberikan kepada murid untuk mengambil keputusan penting dalam kehidupan
sekolah.
7. Jumlah
waktu yang dipergunakan untuk menanggulangi masalah pibadi murid.
Perlu
ditekankan kembali bahwa “ CBSA
adalah suatu pendekatan, bukan suatu
metode atau teknik mengajar”.(T. Raka Joni, 1993: 54). Pendekatan pembelajaran
adalah cara umum dan atau asumsi dalam memandang dan atau menyikapi
pembelajaran serta .permasalahannya, sehingga berdampak ibarat seseorang
menggunakan kacamata dengan warna tertentu di dalam memandang alamsekitarnya
yang seluruhnya akan seperti warna kacamata itu, seperti pendekatan sistem
dalam pembelajaran, dll. Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (Pendekatan CBSA)
adalah suatu cara umum atau suatu gagasan konseptual tentang proses
pembelajaran yang menurut T.Raka Joni (1993: 57), yang pada dasarnya (a)
melihat kegiatan belajar sebagai pemberian makna secara konstruktivistik
terhadap pengalaman oleh pebelajar, dan (b) dengan dituntun asas „tut wuri
handayani‟ pengendalian kegiatan belajar harus meletakkan dasar bagi
pembentukan prakarsa dan tanggungjawab belajar para pebelajar ke arah belajar
sepanjang hayat”
Keaktifan murid dalam berinteraksi
dengan berbagai sumber belajar tersebut harus didukung oleh keaktifan dan
kreativitas guru, serta dukungan oleh sumber daya pendidikan lainnya
(pustakawan, laboran, teknisi ICT , dll.(T.Raka Joni, 1985: 1; Sulo Lipu
La Sulo, dkk,
2002: 11). Dengan
kata lain, meskipun
dalam nama Pendekatan CBSA hanya,
siswa yang ditonjolkan, bukan berarti hanya siswa yang aktif, tetapi semua
pihak yang terlibat dalam pembelajaran itu seharusnya semua aktif. Penonjolan
„siswa‟ dalam nama itu karena yang paling berkepentingan dengan pembelajaran
itu adalah siswa: sang muridlah yang terutama harus belajar, meskipun semua
pihak lainnya dapat ikut belajar dalam pembelajaran itu..
Diagram
4 . 1 Klasifikasi Kegiatan Belajar - Mengajar
(K
. Ya ma moto , 1969, dalam T . Raka Joni, 1985: 3)
Dari Diagram
4.1 ternyata bahwa
interaksi guru-murid dalam
situasi
Murid
belajar
Guru mengajar
|
Ada Intensional
|
Ada Insidental
|
Tidak Ada
|
Ada Intensional
|
A.
Pembelajaran optimal
|
b. Brain washing
|
c. Kegagalan pembelajaran
|
Ada Insidental
|
D. Hasil ikutan (by-product), murid
sadar.
|
E. Hasil Ikutan
(keteladanan Osmosis)
|
F. Ada situasi, respons murid tidak
ada.
|
Tidak ada
|
G. Muri belajar mandiri
|
H.Rekreasi, tak niat belajar
|
I.Non intruksional
|
Pembelajaran
dapat terjadi 9 (sembilan) kemungkinan sbb:
1. Pembelajaran berlangsung optimal, karena guru dan murid terlibat dalam pembelajaran dengan jntensif,
2. Brain
washing (cuci otak, indoktrinasi),
3. Kegagalan
pembelajaran, karena guru mengajar dengan intensif tetapi murid tidak belajar,
4. Hasil
ikutan (by-product) karena guru mengajar seadanya tetapi murid belajar
intensif
5. Hasil
ikutan karena baik guru maupun murid tidak intensif dalam pembelajaran, namun
terjadi proses keteladanan, peniruan, osmosis, dll,
6. Ada
situasi pembelajaran, tetapi murid tidak meresponsnya,
7. Murid
belajar mandiri, karena guru tidak mengajar, tetapi murid belajar intensif,
8. Guru
tidak mengajar, tetapi murid belajar seadanya, seperti dalam rekreasi tanpa
niat belajar.
9. Ada
kegiatan guru dan murid tetapi bukan pembelajaran (administrasi murid, bayar
uang sekolah, dll ).
C. Prinsip Pendekatan CBSA
Terdapat
sejumlah prinsip belajar yang harus diperhatikan agar proses belajar itu dapat
berhasil dengan efisien (berdaya guna) dan efektif (berhasil guna).
Prinsip-prinsip tersebut dilandasi penelitian dalam psikologi belajar dan
diujicobakan dalam pembelajaran. Prinsip-prinsip belajar tersebut dapat
dijadikan titik tolak untuk meningkatkan derajat keterlibatan murid dalam
pembelajaran. Prinsip-prinsip tersebut (Conny Semiawan, dkk, 1985: 9-13; Sulo
Lipu La Sulo, dkk, 2002: 11) adalah sebagai berikut:
1. Prinsip
motivasi yakni penumbuhan motivasi belajar, baik motivasi intrinsik (motif yang
menjadi bagian dari prilaku belajar: rasa ingin tahu) maupun motivasi
ekstrinsik (diluar prilaku belajar: ingin hadiah dari orang tua). Guru
hendaknya menjadi motivator yakni berusaha menumbuhkan motivasi belajar,
utamanya motivasi intrinsik dalam belajar.
2. Prinsip
latar atau konteks yakni memposisikan pengalaman belajar baru yang akan/sedang
dilakukan diantara pengalaman belajar yang telah menjadi miliknya
(pengetahuan/pemahaman, nilai/sikap, dan atau ketrampilan yang telah dikuasai).
Dengan pemberian kaitan (termasuk apersepsi), pengalaman belajar yang baru akan
manjadi bagian dari struktur kognitif, baik melalui asimilasi (pembauran)
maupun akomodasi (penempatan).
3. Prinsip
fokus yakni keterarahan kepada suatu titik pusat perhatian yang dapat dilakukan
dengan cara merumuskan masalah yang hendak dipecahkan, pertanyaan yang hendak
dijawab, konsep yang akan ditemukan, dsbnya. Titik fokus ini hendaknya menjadi
pusat perhatian murid dan dapat mengaitkan atau menghubungkan seluruh bahan yang
sedang dipelajari dengan khasanah kognitif yang telah ada.
4. Prinsip
sosialisasi (hubungan sosial) yakni belajar dalam kelompok agar dapat
bekerjasama dengan teman sebaya dalam proses pembelajaran itu, seperti diskusi
kelompok, kerja kelompok, dsb
5. Prinsip
belajar sambil bekerja, bermain, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan
keinginan murid untuk melakukan kegiatan manipulatif.
6. Prinsip
individualisasi yakni penyesuaian kegiatan pembelajaran dengan perbedaan
individual murid.
7. Prinsip
menemukan yakni dengan pemberian informasi pancingan agar murid terdorong untuk
menemukan informasi selanjutnya.
8. Prinsip
pemecahan masalah yakni murid peka untuk menemukan dan atau merumuskan masalah,
dan mencari cara pemecahannya
Penerapan
berbagai prinsip belajar tersebut di atas dalam pembelajaran di SD-MI akan
dapat meningkatkan derajat keterlibatan murid dalam proses pembelajaran, dengan
kata lain, derajat Pendekatan CBSA lebih tinggi. Untuk mewujudkan hal itu,
terdapat beberapa rambu-rambu yang harus diperhatikan guru dalam penyusunan
rencana pelaksanaan pembelajaran dan atau pelaksanaan pembelajaran itu. (Sulo
Lipu La Sulo, dkk, 2002: 11) antara lain:
1. Mengupayakan
variasi kegiatan dan suasana pembelajaran dengan penggunaan berbagai
strategi/metode/teknik dalam pembelajaran, seperti variasi pengorganisasian
murid dalam pembelajaran (individual, kelompok berpasangan, kelompok kecil, dan
atau klasikal), variasi penggunaan metode (ceramah, tanya jawab, penugasan
individual/kelompok, diskusi. dsb).
2. Menumbuhkan
prakarsa murid untuk aktif dan kreatif dalam kegiatan pembelajaran, umpamanya
dengan memberi peluang untuk bebas berpendapat (dalam curah pendapat/brainstorming),
menghargai pendapat yang berbeda, dsb.
3. Mengembangkan
berbagai pola interaksi dalam pembelajaran, baik antara guru dan murid, maupun
antar murid, serta variasi interaksi dengan sumber belajar yang tersedia
(cetakan, rekaman, lingkungan sekitar, dsb).
4. Menyediakan
dan menggunakan berbagai sumber belajar, baik yang dirancang (by design:
media/alat peraga) maupun yang dimanfaatkan (utilization, sesuatu seperti
museum yag ada di sekitar untuk dijadikan sumber belajar).
5. Pemantauan
yang intensif dalam kegiatan pembelajaran dan yang diikuti dengan pemberian
balikan yang spesifik dan dengan segera.
Kajian tentang rambu-rambu perwujudan
pendekatan CBSA dengan penekanan pada keterlibatan mental, utamanya cognitive
engagement, oleh T. Raka Joni (1993: 68-72) ditinjau dari beberapa segi,
sebagai berikut:
1. Dari
segi guru, dalam pembelajarannya tertampilkan:
a. Guru
meyediakan pijakan (cognitive anchoring) dan tuntunan (cognitive scaffolding)
yang dapat membantu murid memberi makna terhadap pengalaman belajarnya:.
-
pijakan kognitif adalah
gagasan dasar bidang studi yang sedang dipelajari yang berfungsi sebagai
pengait antara yang sedang dipelajari dengan yang telah diketahui
-
tuntunan kognitif
adalah informasi/bantuan (konseptual, prosedural) tambahan yang diberikan
selama pembelajaran berlangsung sebelum murid dilepas dalam kegiatan belajar
mandiri;
b. Guru menggunakan beragam kegiatan
pembelajaran dengan multi metode/media/dsb sesuai dengan tujuan yang akan
dicapai,Guru memberi tugas/kesempatan kepada murid untuk berbuat langsung dalam
pembelajaran (mengkaji, berlatih, dll) dan dalam penerapannya.
2. Dari
segi murid, dalam pembelajaran tertampilkan:
a. Murid
bertanya/memberi pendapat,
b. Murid secara
langsung melakukan pengkajian,
pelatihan, dan atau
penghayatan
dalam situasi sarat nilai,
|
||||||
c. Ada
interaksi
|
antar
murid,
|
baik
yang digiring oleh guru
|
maupun yang
|
|||
spontan,
|
||||||
3. Dari segi
pesan-pesan kependidikan:
|
ada
|
keseimbangan
|
antara
|
tujuan
|
||
pembelajaran dan
|
tujuan yang
|
lebih
|
umum,
|
demi
pencapaian tujuan utuh
|
||
pendidikan.
|
4. Dari
segi penempatan diri guru dalam pembelajaran, tetap tertampilkan sesuai asas
tut wuri handayani.
Perlu ditekankan bahwa penerapan
berbagai prinsip belajar serta berbagai rambu-rambu yang harus diperhatikan
guru seperti tersebut di atas, memerlukan prasyarat yang berkaitan dengan
wawasan kependidikan guru tentang tugasnya, disertai dengan penguasaan yang
memadai tentang berbagai strategi, metode, ketrampilan, teknik, dsb di dalam
pembelajaran. Pengetahuan yang luas dan mendalam tentang berbagai hal tersebut
akan memberi peluang yang besar untuk
D.
Indikator dalam
Penerapan Pendekatan CBSA
Untuk
mengetahui apakah penerapan Pendekatan CBSA dalam pembelajaran yang sedang
berlangsung telah optimal, perlu diamati indikator-indikatornya. Indikator itu
adalah gejala-gejala yang nampak dalam prilaku guru dan murid selama
pembelajaran berlangsung, serta organisasi kegiatan, iklim, dan alat di dalam
pembelajaran itu. Berbagai indikator penerapan Pendekatan CBSA itu (T.Raka
Joni, 1983: 22-24; dan 1985: 19-20; Sulo Lipu La Sulo, dkk, 2002:12-13) adalah:
1. Keterlibatan
murid dalam pembelajaran, baik keterlibatan fisik maupun yang utama
keterlibatan mental, seperti pengikatan diri (tersitanya perhatian dan pikiran)
kepada tugas yang dihadapi, penyelesaian tugas secara tuntas yang melebihi dari
apa yang diharapkan, tergugahnya emosi oleh suasana yang tersirat dalam
pembelajaran, dsb.
2. Prakarsa
murid dalam pembelajaran, seperti keberanian mengemukakan pendapat tanpa
diminta, mengemukakan usul dalam penetapan tujuan dan atau cara kerja ,
kesediaan mencari alat serta sumber belajar tambahan, dan sebagainya.
3.
Peranan guru lebih
ditekankan sebagai fasilitator (penyedia dan pengelola fasilitas pembelajaran),
pemantau kegiatan pembelajaran, dan selalu siap memberi balikan yang diperlukan
murid (siap ulur tangan dan bukannya campur tangan, sesuai prinsip tut wuri
handayani).
4. Belajar
dengan pengalaman langsung (belajar eksperiensial, experiential learning).
Belajar eksperiensial dalam ranah kognitif, seperti pengenalan konsep
atau prinsip dilakukan dengan peragaan langsung konsep atau prinsip itu,
seperti 3X2 diragakan dengan mengambil 3 kali setiap kali 2 biji. Dan pada
akhirnya dilakukan kristalisasi verbal tentang konsep itu, baik secara induktif
maupn deduktif. Demikian pula dengan ranah afektif (penghayatan melalui situasi
nyata ataupun buatan) dan ranah psikomotorik (latihan ketrampilan fisik,
sosial, dan atau intelektual) dalam suatu situasi buatan dan atau nyata dengan
diikuti balikan yang spesifik dan segera.
5. Variasi penggunaan multi metode dan multi
media dalam setiap pembelajaran yang diikuti dengan keragaman bentuk dan alat
dalam kegiatan pembelajaran.
6. Kualitas interaksi antar murid dalam
pembelajaran, baik aspek intelektual maupun aspek sosio-emosional, yang akan
mengembangkan kompetensi sosial, utamanya kemauan dan kemampuan bekerja sama.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !